Runtuhnya Atap Ponpes di Besuki, Bayang-Bayang Kelalaian Struktural dan Lupa yang Terulang

Redaksi

Coretanrakyat.id Situbondo, 29 Oktober 2025 — Malam yang semula hening di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdur Qodir Jailani Ra, Desa Blimbing, Kecamatan Besuki, mendadak berubah mencekam. Sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, di tengah hujan deras disertai angin kencang, atap salah satu ruangan asrama putri roboh seketika.

Keterangan Fhoto: PP Syeh Abdul Qodir Jailani Ra Blimbing Besuki Situbondo.

Teriakan panik memecah keheningan malam. Sebanyak 19 santri putri yang tengah beristirahat di dalam asrama itu berhamburan menyelamatkan diri. Namun tak semuanya sempat keluar. Satu orang santri, Putri, asal Dusun Rawan, Desa Besuki, tertimpa reruntuhan kayu dan genteng. Ia sempat dilarikan ke RSIA Jatimed, namun nyawanya tak tertolong dan meninggal dunia sekitar pukul 06.00 WIB. Jenazahnya dimakamkan beberapa jam kemudian di kampung halamannya.

Sebelas santri lainnya mengalami luka-luka, dua di antaranya harus menjalani tindakan operasi akibat cedera serius. Rincian data medis menunjukkan 6 santri sempat dirawat di Puskesmas Besuki dan kini telah pulang, 4 santri dirawat di RSUD Besuki, serta 1 santri masih dalam observasi intensif di RSIA Jatimed.

Bangunan asrama yang ambruk kini menyisakan reruntuhan kayu lapuk dan genteng pecah berserakan di lantai. Struktur kayu penopang utama terlihat patah di beberapa titik, menandakan rapuhnya konstruksi bangunan lama yang telah bertahun-tahun tidak diperbarui.

Tim kepolisian, telah melakukan peninjauan awal, menutup area dengan garis pembatas untuk menghindari risiko runtuhan susulan. Evakuasi warga dan santri dilakukan sejak dini hari hingga menjelang subuh, dibantu oleh masyarakat sekitar dengan alat seadanya.

Kasus ambruknya bangunan pondok pesantren di Situbondo ini segera menyedot perhatian publik. Sebab, ini bukan pertama kalinya peristiwa semacam ini terjadi di Jawa Timur.

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh tragedi runtuhnya gedung Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, di mana puluhan santri menjadi korban, dan 67 di antaranya meninggal dunia. Peristiwa memilukan itu mengguncang kesadaran nasional bahwa lemahnya sistem pembangunan dan pengawasan infrastruktur bukan hanya kesalahan teknis semata, melainkan kelalaian struktural yang sudah mengakar.

Baca juga
Peran Penting AI Dalam Dunia Jurnalistik Modern
Keterangan fhoto: Suasana Korban Luka Di Rumah Sakit Siang ini

Jika menilik akar masalahnya, tragedi seperti yang terjadi di Besuki dan Sidoarjo ini bukan semata karena faktor cuaca ekstrem atau ketidaksengajaan. Ia adalah puncak dari rantai panjang kelalaian sistemik dalam tata kelola pembangunan di Indonesia terutama di sektor pendidikan keagamaan yang sering tumbuh dari swadaya masyarakat tanpa dukungan teknis yang memadai.

Tragedi ini seolah membuka kembali pembicaraan lama tentang apa yang disebut sebagai “kekerasan struktural” — bentuk kejahatan yang tidak lahir dari tindakan langsung, melainkan dari sistem sosial dan birokrasi yang menghalangi masyarakat memperoleh hak dasarnya: keselamatan, pengawasan, dan perlindungan.

Dalam konteks ini, kebutuhan dasar yang dimaksud adalah izin pembangunan, pengawasan teknis, dan perlindungan terhadap pekerja konstruksi.

Namun ketika ketiga hal itu absen, maka yang muncul adalah serangkaian praktik kecurangan yang “dinormalisasi”: pengabaian Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), manipulasi dokumen teknis, hingga pembangunan tanpa pengawasan insinyur berizin.

Fakta mengejutkan diungkap oleh Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggono, yang menyebut hanya 52 dari 41.000 pesantren di Indonesia yang mengantongi izin PBG.

Artinya, ribuan pesantren berdiri dan beroperasi dalam kondisi rawan secara hukum sekaligus berisiko tinggi secara keselamatan.

Ketika bangunan keagamaan seperti pesantren atau masjid runtuh, pejabat datang membawa empati, data, dan janji penyelidikan. Namun pertanyaan paling mendasar jarang sekali disentuh: siapa yang seharusnya memastikan bangunan itu aman sebelum dibangun?

Dalam logika birokrasi yang tumpul, tanggung jawab pembangunan sering kali berpindah-pindah: dari pemilik lahan ke arsitek, dari konsultan ke kontraktor, dari kontraktor ke masyarakat. Negara sebagai regulator justru absen di titik paling penting: pengawasan keselamatan konstruksi.

Alur perizinan yang rumit, pungutan liar dalam pengurusan PBG (dulunya IMB), serta kompleksitas dokumen tanah wakaf menjadi alasan klasik kenapa banyak proyek pesantren berjalan tanpa izin lengkap.

Baca juga
Tiga Bupati Tapal Kuda Siang Ini Kompak Wujudkan Aglomerasi Ekonomi dan Reaktivasi Jalur Kereta Panarukan–Jember

Ketika sistem terlalu rumit untuk ditaati, maka pelanggaran menjadi hal yang lumrah dan kelalaian yang sistematis itu berubah menjadi ancaman nyata bagi keselamatan.

Sebagian besar pesantren di Indonesia hidup dari donasi umat dan gotong royong masyarakat. Pembangunan asrama, ruang belajar, dan fasilitas ibadah dilakukan sedikit demi sedikit dengan dana terbatas. Demi menekan biaya, sering kali kualitas material dan jasa konstruksi dikorbankan.

Dalam kondisi seperti ini, pemangkasan biaya menjadi pilihan paling logis namun juga paling berisiko.

Kayu bekas, semen kualitas rendah, dan atap seadanya menjadi pemandangan umum dalam pembangunan fasilitas pondok pesantren, terutama di daerah-daerah dengan ekonomi terbatas.

Karena itu, tragedi yang terjadi di Ponpes Syeh Abdul Qodir Jailani Ra, Besuki, Situbondo, bukan sekadar “musibah lokal”. Ia adalah cermin nasional, menyingkap wajah rapuh sistem pembangunan dan pengawasan yang dibiarkan berjalan tanpa arah.

Selama kita masih memisahkan antara “kecelakaan” dan “keputusan politik”, selama itu pula tragedi seperti ini akan terus berulang.

Sebab, kekerasan struktural tidak dimulai saat genteng runtuh dan menimpa korban. Ia bermula jauh sebelumnya — ketika negara membiarkan peraturan keselamatan diabaikan, ketika perizinan disimplifikasi demi efisiensi, dan ketika keselamatan manusia diposisikan di bawah efisiensi birokrasi.

Runtuhnya atap asrama di Besuki ini hanyalah satu bab dari kisah panjang kelalaian yang diwariskan.

Keterangan Fhoto: Suasana Kesedihan tampak pada keluarga yang datang ke Ponpes siang ini

Dan hingga hari ini, puing-puing di halaman pesantren itu berdiri sebagai pengingat bahwa nyawa manusia terlalu mahal untuk digadaikan pada sistem yang lemah dan pengawasan yang abai.

(Red/Tim-Biro Siti Jenar Group Multimedia Situbondo Jatim)