Coretanrakyat.id Jakarta, Minggu 22 Juni 2025 — Di tengah jutaan rakyat yang berjibaku mencari pekerjaan, dari antrean bursa kerja hingga berdesakan dalam job fair, potret kehidupan di kalangan elite politik justru bertolak belakang. Ketika masyarakat berjuang keras untuk mendapat satu pekerjaan, para pejabat negara justru berlomba menumpuk jabatan.
Fenomena terbaru yang mengemuka adalah praktik rangkap jabatan oleh para wakil menteri (wamen) di pemerintahan yang juga menjabat sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebuah ironi yang mencolok dari negeri yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pancasila.
Laporan terbaru menyebutkan bahwa sedikitnya 25 wakil menteri aktif kini merangkap jabatan sebagai komisaris di sejumlah BUMN, sebuah angka yang mengejutkan publik. Dengan jumlah wamen yang meningkat menjadi 56 orang di era Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, praktik ini dinilai berpotensi semakin meluas, bahkan membuka ruang bagi staf khusus dan kepala badan untuk mengikuti pola serupa.
Tak berhenti di situ, data yang dilansir dari sejumlah media kredibel juga menyebut sekitar 45 purnawirawan TNI-Polri duduk sebagai komisaris di BUMN. Angka tersebut belum mencakup anak usaha holding BUMN, sehingga sangat mungkin jumlah sebenarnya jauh lebih besar.
Kesenjangan Dilegalkan, Etika Dikesampingkan:
Praktik rangkap jabatan ini telah memicu keprihatinan luas dari berbagai kalangan. Meski pemerintah berdalih bahwa tidak ada pelanggaran hukum karena larangan hanya ditujukan pada menteri, bukan wakil menteri — sebagaimana tertuang dalam UU Kementerian Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi — namun argumen legal-formal ini gagal menjawab persoalan substansial: apakah yang legal otomatis etis?
Pejabat publik, termasuk wakil menteri, idealnya adalah pelayan negara yang bekerja penuh waktu untuk membantu Presiden dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan strategis. Namun, ketika jabatan tersebut dirangkap dengan posisi komisaris — yang sejatinya bertugas mengawasi BUMN secara independen — maka terjadi tumpang tindih kepentingan yang rawan menimbulkan konflik peran dan mengganggu integritas tata kelola.
Konflik Kepentingan dan Disorientasi Fungsi:
Sejumlah pakar tata kelola dan legislator menyuarakan kekhawatiran bahwa fungsi pengawasan menjadi bias dan tidak efektif. Salah satunya disampaikan oleh Nashim Khan, anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi PKB yang membidangi BUMN. Politisi asal Situbondo ini menegaskan bahwa aturan sebenarnya sudah cukup jelas.
“UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa menteri dan wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan lain, kecuali di lembaga negara yang relevan. Maka secara prinsip, rangkap jabatan wamen sebagai komisaris itu bermasalah — bukan hanya dari sisi hukum, tetapi dari sisi etika dan tata kelola,” tegasnya.
Lebih lanjut, Khan menilai bahwa independensi BUMN akan terganggu, sebab komisaris dari unsur pemerintah tidak bisa memberikan kontrol eksternal secara objektif. Fokus kerja wakil menteri juga bisa terganggu karena harus membagi perhatian dan energi antara tugas pemerintahan dan kepentingan bisnis perusahaan negara.
Dalih Sinergi dan Realitas Ketimpangan:
Di sisi lain, terdapat pandangan yang menganggap kehadiran pejabat pemerintah sebagai komisaris bisa mempercepat sinergi antara kementerian dan BUMN, serta memperkuat pengawasan strategis. Namun, argumen ini dinilai terlalu pragmatis dan berisiko merusak prinsip akuntabilitas dan profesionalisme dalam tata kelola perusahaan negara.
Rakyat tentu bertanya: bagaimana mungkin pemerintah berbicara tentang efisiensi anggaran, pengendalian belanja birokrasi, dan pengurangan jabatan struktural — tetapi di saat yang sama justru memperbanyak jabatan bagi segelintir elite?
Ketimpangan Ekonomi dan Simbol Krisis Keteladanan:
Kondisi ini mempertegas jurang ketimpangan yang makin dalam. Data BPS per September 2024 menunjukkan bahwa 40 persen masyarakat terbawah hanya menguasai 18,41 persen pengeluaran nasional. Bahkan di wilayah perkotaan, angka itu turun menjadi 17,44 persen. Ketika rakyat hidup dengan satu penghasilan yang tidak menentu, para pejabat justru menggenggam dua gaji, dua jabatan, dan dua sumber kuasa.
Ini bukan hanya sekadar angka, tapi cermin kegagalan moral negara dalam menegakkan keadilan sosial. Krisis ini bukan sekadar soal anggaran atau ekonomi, tetapi juga menyangkut krisis keteladanan dan kepemimpinan. Ketika yang seharusnya menjadi teladan justru berlomba menumpuk keuntungan pribadi dari sistem yang permisif, maka publik tak punya lagi alasan untuk percaya.
Membuka Jalan Budaya Kekuasaan Permisif:
Jika praktik ini dibiarkan, maka akan terbentuk budaya kekuasaan baru yang permisif: jabatan menjadi instrumen balas budi, bukan pengabdian, dan jabatan publik dipandang sebagai investasi politik, bukan amanah rakyat. Indonesia bisa menjadi negara demokratis secara prosedural, tetapi gagal secara substansial.
“Ini bukan soal 25 wakil menteri, ini soal bagaimana kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri dan kelompok, bukan untuk melayani rakyat. Selama pelanggaran etika dibenarkan atas dasar legalitas, maka pelanggaran-pelanggaran berikutnya hanya tinggal menunggu giliran,” pungkas Nashim Khan.

Kini saatnya pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam membenahi tata kelola. Bukan sekadar mengejar legalitas, tetapi membangun etika jabatan, membatasi rangkap posisi, dan menegakkan prinsip keadilan sosial sebagaimana dijanjikan dalam Pancasila. Jika tidak, maka negeri ini hanya akan terus melahirkan elite yang saling membagi kursi — sementara rakyat saling berebut sebutir nasi.
(Redaksi | Tim Pusat Sitijenarnews Group)