Coretanrakyat.id Situbondo, Jawa Timur, Jum’at 19 Desember 2025: Anehnya negeri ini, hukum kerap tampil tegas di atas naskah undang-undang, namun kehilangan konsistensinya ketika diuji di ruang sidang. Fenomena ini kembali tersaji secara gamblang dalam praktik penuntutan pidana, ketika Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya membacakan tuntutan pidana penjara selama dua tahun, secara mengejutkan merevisi tuntutannya dalam tahap replik menjadi hanya enam bulan penjara. Perubahan drastis ini bukan persoalan administratif semata, melainkan cerminan dari problem serius dalam penegakan hukum: runtuhnya kepastian hukum dan inkonsistensi aparat penegak hukum.
Dalam konstruksi hukum acara pidana, surat tuntutan memiliki kedudukan strategis sebagai bentuk akhir penilaian jaksa atas seluruh rangkaian pembuktian di persidangan. Ketika tuntutan dua tahun penjara dibacakan, hal tersebut secara implisit menegaskan keyakinan jaksa bahwa unsur-unsur delik telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan, baik unsur objektif berupa perbuatan melawan hukum maupun unsur subjektif berupa kesalahan terdakwa. Dengan kata lain, tuntutan tersebut merepresentasikan kesimpulan yuridis bahwa perbuatan terdakwa layak diganjar pidana yang proporsional.
Oleh sebab itu, revisi tuntutan yang signifikan dalam replik tanpa penjelasan argumentatif yang memadai patut dipersoalkan secara serius. Praktik demikian berpotensi menabrak asas kepastian hukum (rechtssicherheit) dan asas konsistensi penuntutan, yang merupakan fondasi dari due process of law. Hukum pidana tidak dapat dijalankan dengan logika yang berubah-ubah, karena setiap inkonsistensi akan membuka ruang tafsir negatif dan menggerus kepercayaan publik terhadap integritas penegakan hukum.
Persoalan ini menjadi semakin problematik ketika dikaitkan dengan penerapan Pasal 40B ayat (2) huruf b juncto Pasal 33 ayat (2) huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ketentuan tersebut secara normatif dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang tegas terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dilindungi dari praktik eksploitasi, perusakan, maupun perdagangan ilegal.
Undang-undang konservasi ini lahir dari kesadaran bahwa kerusakan lingkungan hidup bukanlah kejahatan biasa. Dampaknya bersifat lintas generasi dan dalam banyak hal tidak dapat dipulihkan. Oleh karena itu, pendekatan pemidanaan dalam undang-undang ini menempatkan pidana penjara bukan semata sebagai ultimum remedium, tetapi sebagai instrumen pencegahan yang diperkuat untuk menciptakan efek jera (deterrent effect) sekaligus edukasi hukum bagi masyarakat.
Apabila unsur Pasal 40B ayat (2) huruf b jo. Pasal 33 ayat (2) huruf g telah diyakini terbukti sebagaimana tercermin dalam tuntutan awal, maka penurunan tuntutan menjadi enam bulan penjara justru berseberangan dengan tujuan pemidanaan dan ratio legis undang-undang konservasi. Tindakan tersebut berpotensi mereduksi makna perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup dan menormalisasi pelanggaran hukum lingkungan sebagai kejahatan ringan yang dapat ditoleransi.
Secara normatif, jaksa memang dibekali kewenangan diskresioner dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana. Namun kewenangan tersebut bukanlah cek kosong. Ia dibatasi oleh asas proporsionalitas, rasionalitas, dan akuntabilitas. Tanpa dasar yuridis yang jelas dan dapat diuji secara terbuka, perubahan tuntutan yang ekstrem justru mengesankan penegakan hukum yang tidak solid, inkonsisten, dan jauh dari rasa keadilan substantif.
Dalam konteks ini, pertanyaan “di mana penerapan Pasal 40B ayat (2) huruf b jo. Pasal 33 ayat (2) huruf g UU RI Nomor 32 Tahun 2024” tidak dapat dipandang sebagai retorika kosong. Ia merupakan kritik normatif terhadap praktik penegakan hukum yang kian menjauh dari semangat perlindungan lingkungan hidup. Ketika hukum lingkungan dilemahkan di ruang sidang, maka negara sesungguhnya sedang melemahkan komitmennya sendiri terhadap keberlanjutan ekosistem.
Anehnya negeri ini, hukum sering kali kehilangan wibawanya bukan karena ketiadaan aturan, melainkan karena ketidakteguhan dalam menerapkannya. Selama inkonsistensi semacam ini terus dipertontonkan, keadilan akan tetap rapuh terjepit di antara teks undang-undang yang ideal dan praktik penegakan hukum yang berjalan setengah hati.
Penulis : Mochammad Rusli Efendi, S.H
(Red/Tim-Biro Siti Jenar Group Situbondo Jatim)













