Coretanrakyat.id Situbondo, Jawa Timur – Sabtu, 12 April 2025: Satu pekan terakhir, ruang media dan percakapan publik di Situbondo dipenuhi isu yang sama: dugaan pencatutan nama wartawan dalam pembagian THR dan polemik kendaraan dinas baru pimpinan daerah. Riuh ini terus berkembang hingga menjelma menjadi konflik opini terbuka antara kelompok media, elemen masyarakat sipil, dan jajaran pemerintahan.
Namun yang patut disayangkan, dari sekian banyak energi dan perhatian yang tersedot, belum ada yang betul-betul mengarah pada pembahasan substansi: bagaimana Situbondo harusnya berbenah untuk naik kelas?
Tanggapan Kritis: Media, Pemerintah, dan Publik yang makin hari makin Terjepit:
Eko Febriyanto, Ketua Umum LSM SITI JENAR dan CEO PT Siti Jenar Group Multimedia, menyayangkan bagaimana isu ini berkembang liar tanpa arah. Ia menyebut, baik media maupun pemerintah sama-sama perlu melakukan koreksi.
“Jika pemerintah tidak cukup komunikatif, media tidak cukup bijak. Saling tuduh dan framing sepihak membuat rakyat sebagai penonton kebingungan memilah mana data, mana drama,” ujarnya.
Eko juga mengingatkan bahwa pemberitaan yang menyebut inisial tertentu, termasuk HR, tanpa bukti konkret, justru membuka potensi konflik hukum baru.
“Kalau benar ada pelanggaran, proses hukum. Kalau hanya dugaan tanpa dasar, itu pencemaran nama baik. Jangan jadikan ruang media sebagai panggung insinuasi,” tambahnya.
Mobdin: Simbol Efisiensi atau Sekadar Gimmick.?
Langkah pengadaan mobdin baru oleh Bupati Rio dan Wabup Ulfi, yang disebut mengikuti instruksi presiden, sempat menuai pro-kontra. Ada yang menilai itu wujud efisiensi dan tanggap terhadap krisis, namun tak sedikit pula yang melihatnya sebagai gimmick simbolik.
Eko menegaskan, efisiensi harus dibuktikan dalam banyak lini, bukan hanya soal kendaraan.
“Bagus jika penghematan dipakai untuk penanganan banjir. Tapi publik ingin tahu, bagaimana kinerja sektor lain? Transparansi menyeluruh jauh lebih penting daripada sekadar mengganti merek mobil,” jelasnya.
Anatomi Konflik: Warisan Masa Lalu atau Pola Lama yang Diulang.?
Tak bisa dipungkiri, aroma konflik ini juga terkait dengan perubahan kultur kekuasaan di Situbondo. Eko menyoroti bahwa di masa lalu, hubungan antara media dan pejabat kerap tidak sehat. Ada nuansa transaksional, ada juga indikasi kedekatan yang tidak profesional.
Kini, ketika pemerintahan baru membawa sistem berbasis kinerja, muncul gesekan dari mereka yang merasa kehilangan akses atau ekspektasi lama.
“Mungkin dulu media dapat ruang atau jatah tertentu. Sekarang logikanya diubah. Tapi apakah semua pihak siap menerima perubahan ini?” ujar Eko.
Media dan Pemerintah Harus Kembali ke Rel Rakyat:
Eko menyerukan agar media kembali ke jalur profesional—mengabarkan fakta, mengedukasi publik, dan menjaga marwah jurnalistik. Sementara pemerintah harus belajar membuka ruang dialog, menjelaskan kebijakan, dan bersedia dikritik tanpa alergi.
“Jangan hanya sibuk klarifikasi atau saling serang. Bangunlah forum terbuka, ajak bicara, tunjukkan kinerja. Karena Situbondo butuh solusi, bukan sensasi,” katanya.
Penutup: Kapan Kita Bicara Tentang Kemajuan hal remeh temeh seperti ini dibiarkan melebar kemana-mana.?
Polemik ini, bila terus digoreng, hanya akan membuang waktu dan memecah energi sosial. Padahal banyak isu lebih penting yang menunggu perhatian: kemiskinan, banjir, pendidikan, ketahanan pangan, hingga peluang investasi.
“Kalau kita masih berkutat soal THR dan Fortuner, lantas siapa yang bicara soal industrialisasi, UMKM, atau kualitas layanan publik?” pungkas Eko dengan nada prihatin.

Saatnya semua pihak menurunkan ego. Karena kemajuan tidak dibangun dengan saling tuding, tapi dengan langkah kolektif yang visioner dan berani berubah.
(Redaksi – Tim Siijenarnews Group Situbondo)